“Ibu, bapak, dan saudara sekalian yang kami banggakan. Saat ini tepat 100 tahun negeri ini telah merdeka dari kejamnya penjajahan. Hari ini juga menjadi hari yang begitu penting, karena selain memperingati kemerdekaan Wakanda, kita juga merayakan terwujudnya cita-cita para pendahulu kita yakni bonus demografi yang luar biasa“
*tepuk tangan riuh dari masyarakat yang sedang menyaksikan pidato presiden Republik Wakanda tahun 2045*
“Saat ini kita termasuk sebagai negara maju, di mana hal ini telah menjadi harapan bangsa kita sejak puluhan tahun yang lalu. Kita telah membawa Wakanda menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan dunia. Dulu kita sering pesimis jika Wakanda bisa menjadi negara adidaya, tapi hari ini menjadi bukti bahwa hal itu bisa kita capai. Kami berterima kasih kepada para pendahulu dan semua pihak yang telah bersama-sama membawa Wakanda bisa sampai sejauh ini. Terima kasih”. Presiden menyelesaikan pidatonya, kemudian prosesi upacara bendera berlanjut dengan hikmat hingga selesai.
Di suatu tempat yang jauh dari Ibu Kota Negara Kalimantan, seorang bapak yang tengah menonton televisi tiba-tiba tersenyum ke hadapan anaknya sambil menunjuk televisi di depannya, “Nak, kamu harus sekolah yang pinter ya, biar kelak kamu akan seperti bapak presiden kita itu. Apalagi sekarang banyak beasiswa dan sekolah gratis”. “Iya yah, aku akan belajar yang rajin sampai nanti bisa kuliah di luar negeri kayak beliau“, jawab sang anak.
Sang anak kemudian izin ke ayahnya untuk keluar rumah bermain sepak bola dengan teman-temannya di lapangan dekat rumah.
Isal-nama sang anak-sedang berlari menuju lapangan sesegera mungkin karena teman-temannya sudah menunggu dari tadi. “Oyy Habib”, teriak Isal dari kejauhan. “Ayo buruan sini, lu udah kita tunggu dari tadi. Kemana aja lu?”. Sambil nafas terengah-engah Isal menjawab, “Sorry ya gais, tadi aku disuruh ayahku nonton upacara kemerdekaan dulu di tv buat dengerin pidato presiden”. “Ohh gitu, yaudah deh yuk langsung bagi tim dulu aja”. Isal dan teman-temannya akhirnya membagi menjadi dua tim dan akhirnya mereka bermain sepak bola.
Satu setengah jam berlalu, akhirnya Isal dan teman-temannya selesai bermain bola. “Enak ya lapangannya kalau rumputnya bagus gini berstandar FIFA, mana gratis lagi. Dulu kata ayahku kalau mau main bola harus nyewa, kalau ngga nyewa lapangannya jelek rumput liar gitu“. “Iyakah? gue baru tau sih, soalnya ayah atau ibuku ngga pernah cerita“, tanya Habib sambil sedikit kaget karena membayangkan kondisi zaman itu.
“By the way, habis ini kalau kita ke perpustakaan di kota aja gimana? mumpung tanggal merah nih, sekalian jalan-jalan”, tanya Faruq. Sambil berpikir sejenak Habib menjawab, “Boleh sih, tapi kita kesananya naik apa? masa jalan kaki, kan jauh banget”. “Kan bisa naik micro trans dari sini ke kota. Bayarnya cuma 5000 ribu rupiah. Murah banget ngga sih?”.
“Lima ribu?”, teriak Isal dan Habib bersamaan. Mereka tidak percaya kalau biaya naik micro trans dari desa Kartasura ke Kota Solo semurah itu. Isal kemudian bertanya lagi, “Emang sejak kapan Solo Raya ada micro trans? setauku baru ada di Jakarta sama kota besar lainnya aja. “Baru seminggu yang lalu sih diresmikan wali kota bareng presiden“, jawab Faruq. Melihat matahari semakin menyengat, Faruq mengajak dua teman dekatnya itu untuk segera membersihkan diri sebelum pergi.
Setelah mereka mandi di kamar mandi dekat lapangan, mereka akhirnya berjalan menuju ke tempat pemberhentian micro trans terdekat. Mereka berjalan sembari sesekali bercanda seperti anak SMP pada umumnya.
To be continued.